Udara
merupakan salah satu contoh lingkungan fisik yang terdiri dari 78% Nitrogen,
20% Oksigen, 0,93% Argon, 0,03% Karbon Dioksida (CO2), dan sisanya
berupa Neon (Ne), Helium (He), Methan (CH4), dan gas Hidrogen (H2).
Apabila komposisi udara normal mengalami perubahan dan penambahan gas – gas
lain yang menimbulkan gangguan kesehatan maka udara mengalami pencemaran
(Soedomo, 2001).
Pencemaran
udara sebagaimana tercantum dalam Undang – Undang No 23 Tahun 1997 adalah masuk
atau dimasukkannya zat, energi, atau makhluk hidup ke dalam lingkungan udara
oleh karena kegiatan manusia tau alam dan / atau perupahan tatanan yang
menyebabkan turunnya kualitas udara sehingga tidak dapat berfungsi sebagaimana
peruntukannya. Sumber pencemaran udara yaitu dari kegiatan alam (internal) dan
faktor lain (eksternal) seperti transportasi kendaraan bermotor. Kota
Yogyakarta yang mempunyai luas sekitar 32,5 km2 merupakan wilayah
yang cukup padat dengan berbagai aktivitas yaitu pendidikan, usaha, pariwisata,
kegiatan pabrik, dan kegiatan rumah tangga. Aktivitas – aktivitas tersebut
menimbulkan dampak yaitu pencemaran udara yang ditimbulkan dari pergerakan
manusia terutama transportasi.
Menurut
sekretaris Balai Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Puji Astuti, hingga kini asap dari kendaraan bermotor masih menjadi penyebab
utama polusi udara di Yogyakarta. Meningkatnya jumlah kendaraan bermotor di
Kota Yogyakarta, berakibat pada memburuknya kualitas udara bahkan di titik
tertentu sudah melebihi batas.
Hasil uji
udara ambien tahun 2010 di Jalan Godean KM 4,5 CO2 283985 gr/m3, NO2 0,28 gr/m3,
SOx 0,8173 gr/m3, dan CO 0,238624 gr/m3.
Sesuai Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No 153 tahun 2002
tentang baku mutu udara ambien, yaitu CO yang diperbolehkan adalah 30.000 µg/m3.
Dari data tersebut
menunjukkan bahwa CO sudah melebihi Nilai Ambang Batas (NAB).
Dampak pencemaran
udara tersebut adalah meningkatnya suhu lokal maupun global, penyakit
pernafasan, meningkatnya timbal dalam darah, darah tinggi, gangguan jantung,
dan penurunan IQ terutama pada anak. Karbon monoksida dan Hidrokarbon yang
meningkat dapat menyebabkan berat badan bayi rendah dan meningkatkan kematian
bayi serta kerusakan otak dan dalam jumlah yang kecil dapat menimbulkan
gangguan jantung serta gerakan otot (Moore Curtis, 2007).
Pemerintah
Kota Yogyakarta melalui BLH juga telah melakukan program Langit Biru yang
bertujuan untuk mengendalikan dan mencegah pencemaran udara serta mewujudkan
perilaku sadar lingkungan pada sumber pencemar terutama kendaraan bermotor yang
jumlahnya terus meningkat. Namun program tersebut belum sepenuhnya dilakukan
oleh masyarakat karena kurangnya kesadaran dalam melindungi bumi ini. Selain
itu karena alasan untuk lebih cepat dan mudah dengan tetap menggunakan
kendaraan bermotor, serta kurangnya lahan untuk melakukan program penghijauan
di kota.
Menurut
Murdoko (2007), tanaman hias lidah mertua (Sansevieria
trifasciata) mengandung bahan aktif pregnane
glikosid yang mampu mereduksi polutan menjadi asam organik, gula, dan
senyawa asam amino. Tanaman ini banyak dijumpai di halaman rumah karena tanaman
ini mudah dalam perbanyakan dan mudah didapatkan serta tidak membutuhkan air
dalam jumlah yang banyak untuk tumbuh dan berkembang. Riset yang telah
dilakukan oleh Wolverton Environmental
Service menyebutkan bahwa sehelai daun Sansevieria
trifasciata mampu menyerap formaldehid
sebanyak 0,938 µg/jam.
Berdasarkan uraian
tersebut, untuk memberikan alternatif yang mudah dalam pengendalian pencemaran
udara dengan menggunakan tanaman hias lidah mertua (Sansevieria trifasciata ) maka penulis tertarik untuk mengangkat
judul Selamatkan Udara yang dapat Menjadi Penyebab Punahnya Bumi dengan Sansevieria trifasciata.
Pencemaran Udara
Pencemaran udara terjadi apabila ada perubahan komponen
udara normal dalam waktu dan konsentrasi tertentu yang dapat menimbulkan akibat
buruk pada manusia, binatang, tumbuhan, dan benda lain. Salah satu sumber utama
penyebab pencemaran udara yaitu emisi sumber pencemar bergerak atau kendaraan
bermotor. Pertumbuhan jumlah kendaraan yang sangat pesat menyebabkan kemacetan
lalu lintas bertambah sehingga menambah bahan pencemar di udara. Apalagi
masyarakat banyak menggunakan bakar bensin (premium) daripada bensin tanpa
timbal (pertamax karena alasan ekonomi lebih murah, padahal bensin mengandung
timbal yang mencemari udara dan berdampak pada manusia yang menghirup udara
tersebut.
Berikut ini perkiraan prosentase komponen pencemaran yang
bersumber dari transportasi :
Tabel
1. Perkiraan Prosentase Komponen
Pencemaran Udara dari Kendaraan Bermotor di Indonesia
Komponen Pencemar
|
Prosentase
|
CO
|
70,50%
|
NOx
|
8,89%
|
SOx
|
0,83%
|
HC
|
18,34%
|
Partikel
|
1,33%
|
Sumber : Wardhana (2004)
Kendaraan
bermotor mengeluarkan zat 0 zat berbahaya seperti timbal atau timah hitam (Pb),
Suspended Particulate Matter (SPM),
Nitrooksida (NOx), Hidrokarbon (HC), Karbon Monoksida (CO), dan
Oksida Fotokimia (OX). Kendaraan bermotor menyumbang hampir 100% timbal, 13-44%
Suspended Particulate Matter (SPM),
71-89% Hidrokarbon (HC), 34-73% Nitrooksida (NOx), dan hampir
seluruhnya Karbon Monoksida (CO) (Soedomo, 2001).
Dampak pencemaran udara yaitu pada kesehatan dan
lingkungan. Dampak kesehatan mengakibatkan penyakit ISPA (sesak napas, batuk,
dan sakit pernafasan lainnya), meningkatnya timbal dalam darah (mengganggu
fungsi ginjal, fungsi reproduksi pria, memicu asma dan kanker, darah tinggi,
dan penurunan IQ pada anak), menurunkan berat badan bayi, meningkatkan kematian
bayi, kerusakan otak, pusing, pingsan, penurunan kesadaran dan sistem kontrol
syaraf, iritasi mata, ginjal, dan gangguan jantung bahkan dapat menyebabkan
kematian. Dampak pada lingkungan dapat meningkatkan efek gas rumah kaca yang
menjadi penyebab global warming.
Dengan mengetahui berbagai dampak dari pencemaran udara
tersebut maka perlu dilakukan penanganan untuk mengurangi pencemaran udara di
antaranya penanggulangan kemacetan lalu lintas melalui program seo segawe
(sepeda kanggo sekolah lan nyambut gawe), uji emisi, penggantian bahan bakar
premium menjadi pertamax, dan melaksanakan program penghijauan. Penanaman pohon
berindang untuk mengurangi pencemar udara hanya dapat dilakukan di titik –titik
yang memungkinkan dan mempunyai lahan yang cukup, sehingga tidak dapat ditanam
di sepanjang jalan. Oleh karena itu diperlukan tanaman yang dapat menyerap gas
pencemar udara yang dapat ditanam di semua tempat tanpa memerlukan lahan yang
luas.
Tanaman Sansevieria trifasciata
Berdasarkan bentuk daunnya tanaman Sanseviera atau yang
dikenal di Indonesia bernama lidah mertua sebenarnya berasal dari Amerika Timur
dengan jumlah lebih dari 600 spesies alami. Tanaman ini terbagi menjadi 2 jenis
yaitu jenis yang berdaun panjang dimana daun tumbuh memanjang ke atas dengan
ukuran 50-75 cm, memiliki daun yang meruncing seperti pedang dan jenis berdaun
pendek melingkar dalam bentuk roset dengan panjang 8 cm dan lebar 3-6 cm. Kedua
jenis ini berdaun tebal dan memiliki kandungan air sukulen, sehingga tahan
kekeringan. Warna daunnya hijau dengan kombinasi putih kuning atau hijau
kuning, dengan motif khasnya yang beralur mengikuti arah serat daun, namun ada
pula yang tidak beraturan.
Klasifikasi Tanaman Sansevieria trifasciata dalam
sistematika tumbuhan yaitu :
Kingdom : Plantae
(Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Liliopsida (berkeping satu / monokotil)
Sub
Kelas : Liliidae
Ordo : Liliales
Famili : Agavaceae
Genus : Sansevieria
Spesies : Sansevieria trifasciata
Tanaman Sansevieria trifasciata banyak tumbuh
di Indonesia dan beradaptasi dengan baik di dataran rendah sampai dataran
tinggi antara 600-1400 meter di atas permukaan laut, temperatur siang hari
20-22,5oC dan pada malam hari 15-17,5oC, tanaman ini
dapat hidup dalam berbagai kondisi (Anonim, 2005).
Sansevieria
trifasciata termasuk
tanaman yang tahan banting sehingga tidak sulit untuk merawatnya. Sansevieria trifasciata termasuk tanaman hias. Selain itu tanaman ini mudah didapatkan serta
mudah diperbanyak. Sansevieria
trifasciata tidak membutuhkan air dalam jumlah banyak untuk
tumbuh dan berkembang karena tanaman ini paling tahan kering sehingga tidak
perlu disiram setiap hari. Penelitian hidroponik sistem irigasi tetes untuk
melihat kebutuhan air Sansevieria trifasciata pernah dilakukan, paling
baik diberi air 20 mililiter/tanaman/minggu. Perbanyakan tanaman dapat
dilakukan secara generatif dengan biji ataupun secara vegetatif dengan stek,
pemisahan anakan, cabut pupuk, dan kultur jaringan (cloning) (Wijayani,
2007).
Berdasarkan hasil penelitian Badan
Penelitian Amerika Serikat (NASA) menyebutkan bahwa tanaman Sansevieria trifasciata
mampu menyerap lebih dari 107 unsur polutan berbahaya yang ada di udara
khususnya di daerah padat lalu lintas. Kemampuan menyerap zat polutan itu,
dikarenakan adanya bahan aktif pregnane glikosid pada tanaman tersebut, yang
berfungsi untuk mereduksi polutan menjadi asam organic, gula dan asam amino.
Hasil penelitian lain menyebutkan bahwa satu helai daun tanaman Sansevieria trifasciata
dapat menyerap 0.938 mikrogram per jam formalheid, suatu zat yang bila
terakumulasi dalam tubuh dapat mengakibatkan kanker.
Reaksi Pembersihan Udara oleh Sansevieria trifasciata
Tanaman
Sansevieria trifasciata berupa daun
yang merupakan proses fotosintesis. Permukaan atas daun tertutup selapis sel
tunggal yang menyusun epidermis atas. Sel – sel ini sedikit atau tidak memiliki
kloroplas. Karena itu agak transparan dan membiarkan sebagian besar cahaya yang
mengenainya melewati sel – sel di bawahnya. Sel – sel tersebut juga
mengeluarkan zat transparan seperti lilin yang dinamakan kutin. Bahan ini
membentuk kutikula yang berfungsi sebagai penghalang lembab di permukaan atas
daun tersebut, jadi mengurangi hilangnya air dalam daun.
Proses pembersihan
udara dari gas beracun oleh Sansevieria trifasciata dilakukan pada saat
tanaman ini fotosintesis. Tanaman ini menyerap polutan udara kemudian polutan
direduksi oleh bahan aktif pregnane glikosid. Hasil dari proses
fotosintesis berupa oksigen segar dan hasil uraian polutan menjadi asam
organik, gula, dan senyawa asam amino. Dari persamaan fotosintesis :
6CO2 +
6H2O → C6H12O6 + 6O2
menunjukkan
hubungan antara zat – zat yang dipakai dan dihasilkan dalam proses tersebut.
Reaksi gelap dalam fotosintesis merupakan serangkaian reaksi yang melibatkan
pengambilan CO2 oleh tumbuhan dan reduksi CO2 oleh atom
hidrogen.
Tanaman Sansevieria
trifasciata menyerap polutan melalui 2 tahap. Pertama, melalui proses
penyerapan dan pemecahan. Tanaman menyerap senyawa organik melalui stomata
bersamaan dengan proses respirasi, transpirasi, dan fotosintesis. Senyawa
organik lalu dipecah menjadi ion yang dapat diserap oleh jaringan tanaman.
Kedua, saat pelepasan oksigen berlangsung, senyawa racun yang menumpuk di jaringan
akar ikut dilepas ke udara (Lanny, 2005). Hasil penelitian sejenis dilakukan
oleh Wolverton Environmental Service yang menyebutkan bahwa sehelai daun
Sansevieria trifasciata mampu menyerap formaldehid sebanyak 0,938
µg/jam.